Minggu, 27 November 2016

Stadion Persija Jakarta

Dari IKADA Sampai GBK: Polemik Kandang Persija Jakarta yang Tak Pernah Usai

Stadion Lebak Bulus
‘Selamat Datang di Kandang Macan’. Stadion Lebak Bulus resmi dipilih menjadi kandang Persija berikutnya sejak 1997. Kepindahan klub ini ke Lebak Bulus sendiri merupakan campur tangan Sutiyoso sebagai Pembina Persija. Sebelum Pelita Jaya pergi dari Jakarta tahun 2000, Persija saat itu harus berbagi kandang dengan The Commandos.
Saat itu Persija memang membutuhkan stadion yang lebih besar kapasitasnya. Proyek mercusuar Sutiyoso untuk meningkatkan jumlah pendukung Persija mengharuskan Persija berpindah ke Lebak Bulus untuk bisa menggelar pertandingan.
Perjalanan Persija dengan Lebak Bulus mencapai klimaksnya pada tahun 2001. Stadion yang dibangun pada tahun 1985 itu seakan mengiringi perjalanan Persija meraih juara. Beberapa drama sepak bola yang melibatkan Persija juga terjadi di Lebak Bulus. Tahun 2003, kekuatan massa membuat Persib Bandung memilih mundur saat melawan Persija akibat membludaknya penonton hingga pinggir lapangan.
Tahun 2007 menjadi tahun terakhir Persija menggunakan Lebak Bulus untuk bertanding. Macetnya kawasan Jakarta Selatan dan semakin banyaknya jumlah pendukung membuat Persija memindahkan kandang mereka ke Stadion Gelora Bung Karno pada kompetisi Indonesia Super League 2008. 
Stadion Lebak Bulus sendri kini sudah rata dengan tanah setelah digusur untuk kepentingan pembangunan jalur Mass Rapid Transit (MRT).

Stadion Lebak Bulus Jadi Tinggal Kenangan.
Stadion Gelora Bung Karno, Senayan
Persija sebetulnya tidak asing dengan Stadion Gelora Bung Karno. Apalagi beberapa pertandingan besar seperti final perserikatan dan beberapa pertandingan uji coba Internasional juga digelar di GBK.
Namun, baru pada tahun 2008, Persija resmi berkandang di GBK. Tapi perjalanan di tahun pertama tidak berjalan dengan mulus. Menjelang akhir musim, Persija harus terusir dari Jakarta karena agenda politik tahun itu. Persija baru kembali ke GBK pada tahun 2009.
Hingga tahun 2016, Persija memang terus memakai GBK sebagai kandangnya. Tapi Persija juga selalu terusir jika ada aktivitas kampanye politik, sanksi larangan penggunanan stadion, dan bahkan kalah saing dengan penyewa lain yang lebih dulu memberi uang sewa kepada pengelola stadion.

Tuan rumah di tanah sendiri

Persija memang kini sudah memiliki The Jakmania sebagai suporter setia yang selalu memenuhi stadion ketika mereka bertanding.  Puluhan ribu orang mau datang ke stadion untuk mendukung mereka, bahkan di tengah prestasi yang seret. Namun banyaknya pemberitaan dan anggapan masyarakat yang negatif terhadap mereka, ada tanda-tanda bahwa Persija belum sepenuhnya mampu merangkul semua lapisan masyarakat di kota metropolitan ini.
Kultur suporter memang tak sepenuhnya hidup di Jakarta. The Jakmania pun lebih didominasi oleh kelas menengah bawah, sementara kelas menengah atas lebih tertarik pada hiburan layar kaca: sepakbola benua Eropa. Hanya ketika timnas Indonesia sedang dalam performa bagus dan bertanding di Gelora Bung Karno lah lapisan menengah atas baru tergelitik untuk datang ke stadion dan menjadi suporter.
Tapi di kota dengan tingkat ketidakacuhan yang begitu tinggi pada sepakbola dalam negeri, perkembangan yang sudah terjadi pada The Jakmania dengan jumlah mereka yang masif itu adalah sesuatu yang tetap patut diacungi jempol. Bahkan meski mayoritas anggotanya berasal dari satu kelas ekonomi yang sama.
“Jakarta itu heterogen, tapi enggak berarti enggak bisa punya suporter,” kata Bung Ferry. “Gua cuma pengen, Persija jadi tuan rumah di kampungnya sendiri.”


#SaatnnyaKembalikanKejayaan



Tidak ada komentar:

Posting Komentar