Revolusi Sutiyoso
Nasib Persija baru berubah ketika Sutiyoso menjadi gubernur DKI Jakarta. Sejak awal, Bang Yos, sapaan akrab sang Gubernur, memang punya niatan untuk membangkitkan Persija sebagai klub sepakbola yang mewakili Jakarta.
“Saya ingin Jakarta memiliki tim yang membanggakan warganya,” kata Bang Yos saat itu. Revolusi wajah Persija pun dimulai.
Salah satu perubahan yang terjadi adalah dalam hal suporter. Harus diakui bahwa sejak 1980an, Persija memang tak memiliki banyak suporter (“Praktis bisa dibilang enggak ada!” aku Ferry Indra Syarief, salah satu pendiri dan mantan ketua Jakmania). Klub ibukota ini memang pernah punya kelompok suporter bernama PFC alias Persija Fans Club, namun keanggotaannya terbatas pada keluarga pemain dan pengurus Persija serta artis-artis ibukota yang memang mendukung Macan Kemayoran.
‘Gagalnya’ PFC sebagai sebuah klub fans terlihat ketika Persija bertanding di final Perserikatan 1988 melawan Persebaya Surabaya di Senayan. “(Gelora Bung Karno) itu 24 sektor, lho. Persija cuma satu sektor, itu pun enggak pakai seragam. Cuma satu sektor yang pakai merah, karena Persija waktu itu merah, sisanya ijo semua,” kenang Bung Ferry.”
The Jakmania berawal dari pikiran sederhana Bung Ferry dan kawan-kawan yang saat itu masih mahasiswa: bagaimana menonton pertandingan dengan membayar tiket yang lebih murah? Jawabannya adalah menjadi anggota fans klub. Masalahnya, pada tahun 1997, Persija tak memiliki fans klub (PFC sudah tak jelas kabarnya ketika itu). Bung Ferry dkk. pun didorong oleh pengurus Persija seperti Diza Rasyid Ali dan Edi Supatmo untuk mendirikan fans klub. Pengurus klub menjadi fasilitator, sementara kaum muda yaitu Bung Ferry dkk sebagai penggerak dan pembentuk organisasi
Gugun Gondrong dipilih sebagai ketua karena statusnya sebagai figur publik, sementara Ferry Indra Syarief menjadi wakilnya. Nama The Jakmania dipilih didasari oleh keinginan pihak klub untuk memiliki nama julukan yang lebih mencerminkan Jakarta – dan The Jak adalah pilihan yang dianggap ideal, sehingga nama fansnya menjadi The Jakmania.
Meski memiliki ketua seorang public figure seperti beberapa ketua PFC dulu, The Jakmania tak mengulangi kesalahan PFC. Tak ada eksklusivitas di tubuh organisasi suporter yang baru terbentuk ini, yang ada malahan upaya perekrutan yang meluas dengan cara pembentukan sistem koordinator wilayah (korwil). Setiap korwil bertanggung jawab untuk mengurus wilayahnya, termasuk di dalamnya mengajak lebih banyak orang untuk mendukung Persija dan bergabung dalam The Jakmania.
Kembali, mengingat betapa heterogennya ibukota, tugas ini tentu saja bukan hal yang mudah. Strateginya kemudian adalah menyentuh aspek emosional orang-orang: bahwa ketika Anda telah menghuni suatu daerah dan dalam waktu lama, sudah sepantasnya Anda mendukung klub sepakbola di mana Anda tinggal, bukan klub daerah Anda berasal.
“Gua coba tanamin ke anak-anak muda, gua bilang elu berasal dari manapun, tapi sekarang lu tinggal di Jakarta. Kalau cuma orang Betawi yang berkewajiban, orang Betawi sendiri udah banyak yang di Bogor, di Tangerang, di Bekasi, dan mereka dukung kesebelasan di sana,” cerita Bung Ferry.
“Mulai generasi kedua pendatang, (mereka) mulai ikut gabung ke kita. ‘Oh iya bener juga, gua lahir di Jakarta, gua tinggal di Jakarta, ya gua dukung Persija.’ Dan cara itu ternyata ampuh.”
Tiket Gratis di Awal Era Bang Yos?
“(Memang) banyak kerahan dari kelurahan, itu dari Bang Yos sendiri. Tapi Jakmania beda dengan (kerahan) Bang Yos,” aku Bung Ferry. “Kita kadang malah agak terganggu sama mereka. Kita (Jakmania) kan nyanyi, pake drum, mereka bawa tanjidor (kesenian musik khas Betawi), bawa alat musik. Makanya akhirnya kita minta sama Persija supaya suporter yang itu dipisahin.”
Selain faktor emosional geografis yang dikelitik oleh The Jakmania, perkembangan organisasi ini yang begitu pesat pada pergantian milenium ketiga lalu juga terjadi berkat revolusi yang terjadi pada tubuh Persija sendiri. Berkebalikan dengan kondisi pada pertengahan 1990an, mulai 1997 hingga 2003, Persija merupakan tim yang sangat makmur dengan banyaknya sponsor yang masuk. Ini tentu saja tak lepas dari partisipasi aktif pemerintah daerah yang membantu mendorong sponsor untuk mendukung Persija pada era ini.
Pelatih yang kelak melatih timnas Indonesia ini memang tak sempat merasakan juara bersama ‘Si Oren’, julukan baru Persija setelah berganti warna menjadi oranye, tapi ialah yang membangun Persija sebelum diteruskan oleh Sofyan Hadi untuk membawa Persija menjuarai Liga Indonesia VII pada tahun 2001.
Imbasnya, peningkatan jumlah anggota Jakmania pun melesat pesat. “Puncaknya di Liga Indonesia VII. Sampai 12.000 anggota baru yang mendaftar dalam waktu setengah musim,” kata Bung Ferry.
Tak mengherankan jika mulai 1999, Persija mulai mampu mengumpulkan pemain-pemain terbaik di timnya, dipandu oleh Ivan Kolev yang membangun pondasi Persija.
Dalam waktu singkat, Persija menjadi salah satu kelompok suporter terbesar di Indonesia dan salah satu yang paling berpengaruh juga. Pengaruhnya pun terasa bagi klub sendiri, yang sering diprotes oleh para suporter jika ada hal-hal yang dirasa tak tepat.
Tetapi besarnya jumlah anggota tak melulu berujung pada hal yang baik. Dengan banyaknya kasus kekerasan yang melibatkan The Jakmania dan kelompok suporter lain selama beberapa tahun belakangan, nama The Jak pun menjadi buruk. Pelan-pelan muncul anggapan bahwa The Jak hanya bisa membuat ricuh, padahal klubnya sendiri tengah terpuruk secara prestasi. Tapi benarkah seperti itu?
“Masyarakat kita sudah terlalu parno dengan massa dalam jumlah besar. Mau itu massa sepakbola, musik, atau partai, kita sudah parno. Tapi kalau boleh dibandingin, The Jak sudah menonton di Lebak Bulus selama belasan tahun, apakah stadion Lebak Bulus pernah dibakar? Tidak pernah sekalipun.” kata Bung Ferry.
“Stadion Lebak Bulus pernah punya sejarah bakar-bakaran, tapi terjadi di konser Metallica. Jadi jangan dibilang (Jakmania) rusuh. Yang lebih rusuh yang mana?”
“Cuma mungkin karena sepakbola frekuensinya lebih banyak, orang lebih menyorotinya. Lebak bulus pernah dua kali, lho, kerusuhan yang parah, waktu (konser) Iwan Fals, sama waktu Metallica.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar