Minggu, 27 November 2016

Stadion Persija Jakarta

Dari IKADA Sampai GBK: Polemik Kandang Persija Jakarta yang Tak Pernah Usai

Stadion Lebak Bulus
‘Selamat Datang di Kandang Macan’. Stadion Lebak Bulus resmi dipilih menjadi kandang Persija berikutnya sejak 1997. Kepindahan klub ini ke Lebak Bulus sendiri merupakan campur tangan Sutiyoso sebagai Pembina Persija. Sebelum Pelita Jaya pergi dari Jakarta tahun 2000, Persija saat itu harus berbagi kandang dengan The Commandos.
Saat itu Persija memang membutuhkan stadion yang lebih besar kapasitasnya. Proyek mercusuar Sutiyoso untuk meningkatkan jumlah pendukung Persija mengharuskan Persija berpindah ke Lebak Bulus untuk bisa menggelar pertandingan.
Perjalanan Persija dengan Lebak Bulus mencapai klimaksnya pada tahun 2001. Stadion yang dibangun pada tahun 1985 itu seakan mengiringi perjalanan Persija meraih juara. Beberapa drama sepak bola yang melibatkan Persija juga terjadi di Lebak Bulus. Tahun 2003, kekuatan massa membuat Persib Bandung memilih mundur saat melawan Persija akibat membludaknya penonton hingga pinggir lapangan.
Tahun 2007 menjadi tahun terakhir Persija menggunakan Lebak Bulus untuk bertanding. Macetnya kawasan Jakarta Selatan dan semakin banyaknya jumlah pendukung membuat Persija memindahkan kandang mereka ke Stadion Gelora Bung Karno pada kompetisi Indonesia Super League 2008. 
Stadion Lebak Bulus sendri kini sudah rata dengan tanah setelah digusur untuk kepentingan pembangunan jalur Mass Rapid Transit (MRT).

Stadion Lebak Bulus Jadi Tinggal Kenangan.
Stadion Gelora Bung Karno, Senayan
Persija sebetulnya tidak asing dengan Stadion Gelora Bung Karno. Apalagi beberapa pertandingan besar seperti final perserikatan dan beberapa pertandingan uji coba Internasional juga digelar di GBK.
Namun, baru pada tahun 2008, Persija resmi berkandang di GBK. Tapi perjalanan di tahun pertama tidak berjalan dengan mulus. Menjelang akhir musim, Persija harus terusir dari Jakarta karena agenda politik tahun itu. Persija baru kembali ke GBK pada tahun 2009.
Hingga tahun 2016, Persija memang terus memakai GBK sebagai kandangnya. Tapi Persija juga selalu terusir jika ada aktivitas kampanye politik, sanksi larangan penggunanan stadion, dan bahkan kalah saing dengan penyewa lain yang lebih dulu memberi uang sewa kepada pengelola stadion.

Tuan rumah di tanah sendiri

Persija memang kini sudah memiliki The Jakmania sebagai suporter setia yang selalu memenuhi stadion ketika mereka bertanding.  Puluhan ribu orang mau datang ke stadion untuk mendukung mereka, bahkan di tengah prestasi yang seret. Namun banyaknya pemberitaan dan anggapan masyarakat yang negatif terhadap mereka, ada tanda-tanda bahwa Persija belum sepenuhnya mampu merangkul semua lapisan masyarakat di kota metropolitan ini.
Kultur suporter memang tak sepenuhnya hidup di Jakarta. The Jakmania pun lebih didominasi oleh kelas menengah bawah, sementara kelas menengah atas lebih tertarik pada hiburan layar kaca: sepakbola benua Eropa. Hanya ketika timnas Indonesia sedang dalam performa bagus dan bertanding di Gelora Bung Karno lah lapisan menengah atas baru tergelitik untuk datang ke stadion dan menjadi suporter.
Tapi di kota dengan tingkat ketidakacuhan yang begitu tinggi pada sepakbola dalam negeri, perkembangan yang sudah terjadi pada The Jakmania dengan jumlah mereka yang masif itu adalah sesuatu yang tetap patut diacungi jempol. Bahkan meski mayoritas anggotanya berasal dari satu kelas ekonomi yang sama.
“Jakarta itu heterogen, tapi enggak berarti enggak bisa punya suporter,” kata Bung Ferry. “Gua cuma pengen, Persija jadi tuan rumah di kampungnya sendiri.”


#SaatnnyaKembalikanKejayaan



Persija Jakarta

Perjalanan Persija Jakarta Zaman Bang Yos

Revolusi Sutiyoso

Nasib Persija baru berubah ketika Sutiyoso menjadi gubernur DKI Jakarta. Sejak awal, Bang Yos, sapaan akrab sang Gubernur, memang punya niatan untuk membangkitkan Persija sebagai klub sepakbola yang mewakili Jakarta.
“Saya ingin Jakarta memiliki tim yang membanggakan warganya,” kata Bang Yos saat itu. Revolusi wajah Persija pun dimulai.
Salah satu perubahan yang terjadi adalah dalam hal suporter. Harus diakui bahwa sejak 1980an, Persija memang tak memiliki banyak suporter (“Praktis bisa dibilang enggak ada!” aku Ferry Indra Syarief, salah satu pendiri dan mantan ketua Jakmania). Klub ibukota ini memang pernah punya kelompok suporter bernama PFC alias Persija Fans Club, namun keanggotaannya terbatas pada keluarga pemain dan pengurus Persija serta artis-artis ibukota yang memang mendukung Macan Kemayoran.
‘Gagalnya’ PFC sebagai sebuah klub fans terlihat ketika Persija bertanding di final Perserikatan 1988 melawan Persebaya Surabaya di Senayan. “(Gelora Bung Karno) itu 24 sektor, lho. Persija cuma satu sektor, itu pun enggak pakai seragam. Cuma satu sektor yang pakai merah, karena Persija waktu itu merah, sisanya ijo semua,” kenang Bung Ferry.”
The Jakmania berawal dari pikiran sederhana Bung Ferry dan kawan-kawan yang saat itu masih mahasiswa: bagaimana menonton pertandingan dengan membayar tiket yang lebih murah? Jawabannya adalah menjadi anggota fans klub. Masalahnya, pada tahun 1997, Persija tak memiliki fans klub (PFC sudah tak jelas kabarnya ketika itu). Bung Ferry dkk. pun didorong oleh pengurus Persija seperti Diza Rasyid Ali dan Edi Supatmo untuk mendirikan fans klub. Pengurus klub menjadi fasilitator, sementara kaum muda yaitu Bung Ferry dkk sebagai penggerak dan pembentuk organisasi
Gugun Gondrong dipilih sebagai ketua karena statusnya sebagai figur publik, sementara Ferry Indra Syarief menjadi wakilnya. Nama The Jakmania dipilih didasari oleh keinginan pihak klub untuk memiliki nama julukan yang lebih mencerminkan Jakarta – dan The Jak adalah pilihan yang dianggap ideal, sehingga nama fansnya menjadi The Jakmania.
Meski memiliki ketua seorang public figure seperti beberapa ketua PFC dulu, The Jakmania tak mengulangi kesalahan PFC. Tak ada eksklusivitas di tubuh organisasi suporter yang baru terbentuk ini, yang ada malahan upaya perekrutan yang meluas dengan cara pembentukan sistem koordinator wilayah (korwil). Setiap korwil bertanggung jawab untuk mengurus wilayahnya, termasuk di dalamnya mengajak lebih banyak orang untuk mendukung Persija dan bergabung dalam The Jakmania.
Kembali, mengingat betapa heterogennya ibukota, tugas ini tentu saja bukan hal yang mudah. Strateginya kemudian adalah menyentuh aspek emosional orang-orang: bahwa ketika Anda telah menghuni suatu daerah dan dalam waktu lama, sudah sepantasnya Anda mendukung klub sepakbola di mana Anda tinggal, bukan klub daerah Anda berasal.
“Gua coba tanamin ke anak-anak muda, gua bilang elu berasal dari manapun, tapi sekarang lu tinggal di Jakarta. Kalau cuma orang Betawi yang berkewajiban, orang Betawi sendiri udah banyak yang di Bogor, di Tangerang, di Bekasi, dan mereka dukung kesebelasan di sana,” cerita Bung Ferry.
“Mulai generasi kedua pendatang, (mereka) mulai ikut gabung ke kita. ‘Oh iya bener juga, gua lahir di Jakarta, gua tinggal di Jakarta, ya gua dukung Persija.’ Dan cara itu ternyata ampuh.”

Tiket Gratis di Awal Era Bang Yos?

“(Memang) banyak kerahan dari kelurahan, itu dari Bang Yos sendiri. Tapi Jakmania beda dengan (kerahan) Bang Yos,” aku Bung Ferry. “Kita kadang malah agak terganggu sama mereka. Kita (Jakmania) kan nyanyi, pake drum, mereka bawa tanjidor (kesenian musik khas Betawi), bawa alat musik. Makanya akhirnya kita minta sama Persija supaya suporter yang itu dipisahin.”
Selain faktor emosional geografis yang dikelitik oleh The Jakmania, perkembangan organisasi ini yang begitu pesat pada pergantian milenium ketiga lalu juga terjadi berkat revolusi yang terjadi pada tubuh Persija sendiri. Berkebalikan dengan kondisi pada pertengahan 1990an, mulai 1997 hingga 2003, Persija merupakan tim yang sangat makmur dengan banyaknya sponsor yang masuk. Ini tentu saja tak lepas dari partisipasi aktif pemerintah daerah yang membantu mendorong sponsor untuk mendukung Persija pada era ini.
Pelatih yang kelak melatih timnas Indonesia ini memang tak sempat merasakan juara bersama ‘Si Oren’, julukan baru Persija setelah berganti warna menjadi oranye, tapi ialah yang membangun Persija sebelum diteruskan oleh Sofyan Hadi untuk membawa Persija menjuarai Liga Indonesia VII pada tahun 2001.
Imbasnya, peningkatan jumlah anggota Jakmania pun melesat pesat. “Puncaknya di Liga Indonesia VII. Sampai 12.000 anggota baru yang mendaftar dalam waktu setengah musim,” kata Bung Ferry.

Tak mengherankan jika mulai 1999, Persija mulai mampu mengumpulkan pemain-pemain terbaik di timnya, dipandu oleh Ivan Kolev yang membangun pondasi Persija.
Dalam waktu singkat, Persija menjadi salah satu kelompok suporter terbesar di Indonesia dan salah satu yang paling berpengaruh juga. Pengaruhnya pun terasa bagi klub sendiri, yang sering diprotes oleh para suporter jika ada hal-hal yang dirasa tak tepat.
Tetapi besarnya jumlah anggota tak melulu berujung pada hal yang baik. Dengan banyaknya kasus kekerasan yang melibatkan The Jakmania dan kelompok suporter lain selama beberapa tahun belakangan, nama The Jak pun menjadi buruk. Pelan-pelan muncul anggapan bahwa The Jak hanya bisa membuat ricuh, padahal klubnya sendiri tengah terpuruk secara prestasi. Tapi benarkah seperti itu?
“Masyarakat kita sudah terlalu parno dengan massa dalam jumlah besar. Mau itu massa sepakbola, musik, atau partai, kita sudah parno. Tapi kalau boleh dibandingin, The Jak sudah menonton di Lebak Bulus selama belasan tahun, apakah stadion Lebak Bulus pernah dibakar? Tidak pernah sekalipun.” kata Bung Ferry.
“Stadion Lebak Bulus pernah punya sejarah bakar-bakaran, tapi terjadi di konser Metallica. Jadi jangan dibilang (Jakmania) rusuh. Yang lebih rusuh yang mana?”
“Cuma mungkin karena sepakbola frekuensinya lebih banyak, orang lebih menyorotinya. Lebak bulus pernah dua kali, lho, kerusuhan yang parah, waktu (konser) Iwan Fals, sama waktu Metallica.”



Perjalanan Suporter Persija

Lika-Liku Suporter Persija: Dari VIJers, PFC, hingga The Jakmania

Persija Jakarta memang sedang alami kemunduran yang dalam. Tak ada prestasi dalam beberapa tahun terakhir yang mereka dapatkan, dan alih-alih prestasi, lebih banyak kabar buruk yang mengiri perjalanan mereka – termasuk, tentu saja, isu gaji dan masalah ketidakjelasan stadion.
Meski begitu, klub ibukota ini tetap merupakan salah satu klub terbesar di Indonesia. Dan meski selama ini memiliki imej yang kurang baik di mata masyarakat, suporter mereka, The Jakmania, juga tetap merupakan salah satu yang terbesar di negeri ini. Lihat saja bagaimana oranye-nya tribun stadion Gelora Bung Karno ketika Persija mendapatkan izin untuk bermain di sana. Atau bagaimana baju oranye dengan mudah kita lihat di jalanan Jakarta setiap kali hari pertandingan kandang Persija tiba. Juga kita lihat bagaimana tagar #PERSIJADAY menjadi trending topic tiap kali mereka bermain di Jakarta ataupun di luar Jakarta.

The Jak dan Persija memang merupakan dua hal yang tak terpisahkan saat ini. Tapi situasinya tak selalu seperti itu. Ada masa ketika Persija belum mendapatkan dukungan yang luar biasa dari Jakmania karena kelompok suporter yang identik dengan simbol ibu jari dan telunjuk tangan kanan yang membentuk huruf J ini baru didirikan tahun 1997. Persija sendiri sudah berdiri sejak tahun 1928 (sebagai Voetbalbond Indonesische Jacatra atau VIJ), sehingga masa ketika Persija tak memiliki Jakmania jelas jauh lebih panjang.
Masalahnya, Jakarta bukanlah kota dengan kultur suporter sepakbola yang begitu kental. Ini bukanlah kota seperti Bandung, Malang, atau Surabaya yang mempunyai kultur suporter yang kuat, di mana kebiasaan mendukung klub sepakbola yang mewakili kota mereka dilakukan secara turun temurun.
Tentu saja hal itu tidak berarti Persija (dan VIJ) tidak memiliki suporter sejak dulu. Berkebalikan dengan anggapan sebagian orang bahwa Persija tak punya suporter sebelum era Jakmania, klub yang dulu identik dengan warna merah-putih ini sudah mempunyai suporter sejak era VIJ menjuarai Perserikatan dalam empat musim di era 1930an.
“Masuknya beberapa tokoh nasional seperti MH Thamrin sangat mempengaruhi orang-orang Betawi dan pribumi mendukung VIJ,” kata Gerry Putra, jurnalis yang juga seorang pemerhati sejarah Persija.
“Koran Pemandangan, yang saat itu jadi media tak resmi VIJ, secara tidak langsung turut membantu propaganda VIJ lewat pemberitaan dan iklan-iklannya, yang bikin orang-orang Betawi mau dukung VIJ.”
Kultur suporter juga terlihat dari bagaimana mayoritas suporter sejak era lampau terbentuk di daerah-daerah tertentu seperti Tanah Abang, Jatibaru, dan Kebon Jeruk. Inilah daerah-daerah yang paling banyak memberikan massa suporter ketika VIJ dan Persija bertanding, baik ketika mereka bermain di Petojo, Ikada, ataupun Menteng.
Menariknya, fenomena tersebut memang disebabkan oleh demografi masyarakat pribumi Jakarta. Sejak era penjajahan Belanda, Kebon Jeruk dan Tanah Abang memang merupakan daerah yang dihuni oleh masyarakat pribumi. Dan besarnya dukungan pribumi terhadap VIJ saat itu memang tak terlepas dari sejarah VIJ sendiri, yang berdiri sebagai kubu perlawanan atas VBO, klub bentukan Belanda di Jakarta.
Bukti sejarah bahkan menunjukkan bahwa di masa itu, istilah ‘VIJers’ bagi para pendukung VIJ sudah muncul. Lagi-lagi, ini adalah propaganda dari para pendiri VIJ, Soeri dan Alie, yang memang terus berusaha “memanaskan” jiwa nasionalisme para warga pribumi agar memberikan dukungan bagi VIJ.

Kedekatan Emosional Jadi Sumber Dukungan

Pada era VIJ, klub ini bisa cukup mudah meraup dukungan dengan “menjual” nasionalisme. Lalu bagaimana setelah Indonesia merdeka dan VIJ berubah menjadi Persija? Apakah masih ada dukungan bagi klub yang terus mengenakan seragam merah mereka meski telah berganti nama?
Jawabannya: masih. Namun, ada pergeseran alasan. Jika dulu warga pribumi mendukung VIJ sebagai bentuk perlawanan mereka atas VBO, NIVU, dan penjajahan Belanda, di era 1950-70an, klub yang saat itu sudah berganti nama menjadi Persija tersebut mendapatkan dukungan besar dari warga pribumi karena kedekatan emosional pada para pemain.
Hal tersebut sangat tampak terutama di tahun 1964, ketika Persija bisa menjadi juara Perserikatan tanpa terkalahkan. Selain memang karena hasil-hasil akhir yang memuaskan di atas lapangan, fakta bahwa skuat Persija di masa itu diisi oleh pemain-pemain lokal binaan Persija menjadi alasan kenapa warga Jakarta ramai-ramai mendukung tim ini.
Timnya muda, dan (pemain-pemain) kayak Soetjipto Soentoro itu orang Gandaria. Adiknya, Soegito, juga orang Gandaria. Fam Tek Fong, Kwee Tik Lion itu orang-orang Glodok, yang nggak terlalu jauh dari Tanah Abang,” kata Gerry. “Istilahnya, masih orang-orang kita (Jakarta) juga, orang-orang yang kita kenal.”
Pada tahun 1973, ketika Persija juara, bahkan para suporter Persija sampai masuk ke dalam lapangan untuk merayakan gol Andi Lala. Majalah Tempo ketika itu memasang tajuk utama “Hadiah untuk Warga Kota”.
Penurunan prestasi yang dialami oleh Persija di tahun 1980an, terutama ketika mereka hampir terdegradasi di tahun 1985, menjadi salah satu penyebab mengapa terjadi penurunan dukungan juga terhadap Persija.
“Kultur orang Jakarta dulu kan memang kalau timnya bagus, mereka berbondong-bondong, kalau timnya jelek, ntar-ntaran dulu deh.” lanjut Gerry.
Urbanisasi tentu saja jadi penyebab yang besar juga. Makin banyaknya orang-orang daerah yang pindah ke Jakarta pada era 80-90an membuat kota ini dihuni oleh warga yang makin beragam asalnya. Masalahnya, mereka yang datang dari daerah pun lebih memilih klub dari daerah asalnya. Orang Surabaya lebih memilih mendukung Persebaya. Orang Malang tentu saja Arema.
Tanpa dukungan warga Betawi dan minimnya pendatang yang mau mendukung Persija membuat jumlah dukungan untuk klub ini makin minim. Apalagi, prestasi di atas lapangan pun tak membantu.
“Titik nadir Persija itu tahun ‘90an. Hampir degradasi juga, secara finansial juga lebih terpuruk. Paling yang nonton cuma artis kayak Indra Lesmana atau keluarga deket (Persija) saja. Selebihnya anak-anak muda Jakarta, lebih nonton Pelita yang lebih wah waktu itu,” ujar Gerry.



Hut Persija Jakarta 88

28 November 1928 Hari Kelahiran Persija Jakarta , Hari Ini 28 November 2016 Persija Jakarta Ulang Tahun Ke-88 Anak The Jak Mania Yaitu Suporter Persija Jakarta Merayakaan Ulang Tahun Persija Jakarta Ke-88

Salah Satu Suporter Persija Merayakan Ulang Tahun Persija Yaitu Jak Kebun Jeruk , Di Bantu Oleh Pihak Papyrus Joglo,JakSquare,Tentara Langit , Para Panitia Membikin Kejutan Untuk Ultah Persija.


Selain Jak Kebon Jeruk Masih Ada Lagi Jak Di 34 Provinsi Di Indonesia Yang Setia Mendukung Persija dan Merayakan Ultah Persija Ke-88.#GuaPersija

Sejarah Persija Tahun 2001: 
Kelakk Tahun 2001 Gubernur Jakarta Yang Di Pimpin Oleh Jendrall Sutiyoso, Bang Yos Di Kenal Dengan Gila Bola , Dan Akhirnnya Bang Yos Pada Tahun 2001 Persija Mengakat Piala Liga Indonesia , Kelak Itu Persija Jakarta Melawan PSM Makassar, Akhirnnya Persija Menang 3-2 Atas PSM Makassar, Management, Pemain Persija Dan Suporter Persija Bergembira Dan Bersedih Atas Kemenangan Persija Atas PSM Makasaar Dan Persija Juara Liga Indonesia ,Kelak Itu Persija Menjebolkan Gawang PSM Makassar Berkat Gol Bambang Pamungkas 2 Gol Dan Imran Nahumarury 1 Gol ukup membawa Persija meraih gelar juara. Gol Miro Baldo Bento dan Kurniawan tak cukup mengejar laju sang macan ke singgasana juara. Hadiah juara pun dipersembahkan Persija kepada warga kota. Di luar stadion, tak hanya The Jakmania (pendukung setia Persija) yang menyambut kemenangan Persija, warga kota pun turut larut dengan kemenangan Persija. Malam yang tak terlupakan oleh para penghuni kotanya MH Thamrin.
Setelah 16 tahun berselang, Persija belum lagi mendapatkan gelar juara. Segala daya upaya membuat Persija kembali berjaya, belum menemukan jalannya. Bahkan saat ini Persija seperti kembali ke era 1990an saat mereka mencoba bangkit dari keterpurukan. Lalu, bagaimana kabar skuat Persija tahun 2001? Apakah mereka masih aktif bermain sepak bola? FourFourTwo mencoba mencari tahu kabar dari skuat juara 2001 tersebut.
PERSIJA KAPAN JUARA PERSIJA AYO BERUSAHA SAMPAI KAPAN THE JAK MANIA MENUNGGU LAMA LIAT KAMU ANGKAT PIALA

#Waji88Bangkit
#Clue88Ersejarah
#HbdMacanku


Suporter Persija Jakarta

Tanggal 27 November 2016 Menjelang Jam 12 Malem Tanggal 28 November 2016 Anak The Jak Mania Mempersiapkan Acara Nonton Bareng Persija Dan Tiup Lilin Acara Ulang Tahun Persija Ke-88 Yang Di Laksanakan Oleh Pihak Papyrus Joglo Jakbar,Jak Square Kebon Jeruk , Dan Tentara Langit.
Di Meriahkan Oleh : 
NOBAR + MERAYAKAN HUT PERSIJA,
Tanggal 27 november 2016, HTM 30 RIBU = ROTI BAKAR+ ES TEH MANIS + AYAM PENYET + UNDIANDOORPRIZE.

open gate : PKL.17.00 atau jam 5 sore sore s/d PKL. 00.30 Setengah 1 malam.

Susunan acara :
- NONTON BARENG
- STAND UP COMEDY
- BAGI-BAGI DOORPRIZE
- MUSIK GONDAL-GANDUL(Musikal Persija Jakarta)
- PEMUTARAN VIDIO SEJARAH PERSIJA.
- POTONG KUE DAN TUMPENG.

Pihak Panitia Mempersiapkan Acara Dari Sore Hari Untuk Membikin Acara Nonton Bareng Dan Merayakan Hut Persija Ke-88 ,Panitia Membikin Acara Dengan Kemampuan Panitia Sendiri Walaupun Tidak Meriah Yang Penting Tetap Persija.


Acara Nonton Bareng Persija Di Papyrus Joglo.

Acaran Nonton Bareng Persija berjalan Dengan Lancar Dan Tidak Ada Kerusuhan Atau Anarkis #GuaPersija.

Acara Merayakan Hut Persija Ke-88


Acara Nobar Persija Dan Merayakan Hut Persija Ke-88 Berjalan Dengan Lancar Dan Sukses
Tidak Lupa Juga Berterima Kasih kepada Allah Swt Yang Telah Memberikan Acara Ini Dengan Lancar Tanpa Allah Swt Acara Ini Tidak Akan Berjalan Dengan Baik Dan Lancar 
Semoga Di Umur Persija Ke-88 Semoga Persija Bisa Bangkit Dan Juara Dan Mempunyai Bapak Untuk Persija.
#GuaPersija
#Waji88Bangkit
#Clue88Ersejarah
#HbdMacanku




Senin, 21 November 2016

Suporter Sriwijaya

Suporter Sriwijaya FC Singa Mania Tolak Bersatu

Palembang  - Kelompok suporter Sriwijaya Football Club Singa Mania menyatakan menolak bersatu dengan Sriwijaya Mania Sumsel dan Simanis seperti yang dianjurkan oleh Gubernur Sumatera Selatan H Alex Noerdin beberapa waktu lalu.

Ketua Singa Mania Dedi Pranata, di Palembang, Sabtu, mengatakan keputusan itu diambil berdasarkan hasil rapat dengan seluruh pengurus koordinator wilayah, Kamis (23/4).

"Konsep dan visi peleburan tiga kelompok suporter belum jelas, hal ini yang membuat kami memutuskan tidak akan bersatu dengan dua kelompok suporter lainnya," kata dia.

Dia menuding, dua kelompok suporter lainnya bersedia bersatu supaya mendapatkan fasilitas dan bantuan dari berbagai pihak, termasuk dari Pemerintah Provinsi Sumsel.

"Suporter itu esensinya adalah rela berkorban, bukan mau jadi suporter karena ada bantuan yang didapat. Kami tidak mau jadi benalu tim, meskipun kami bukan kelompok suporter yang anti bantuan," ujar dia.

Menurut dia, penyatuan kelompok suporter ini tidak didukung oleh suatu perencanaan yang matang, sehingga akan menuai permasalahan di kemudian hari. 

"Lebih baik kita sama-sama memperbaiki manajemen suporter masing-masing, saling beradu kreativitas di lapangan hijau, dan berjalan beriringan tanpa ada provokasi dan keributan. Tidak apa jalan sendiri-sendiri," ucap dia.

Sebagai dampak dari keengganan untuk bersatu itu, Singa Mania menyatakan siap tidak mendapatkan potongan harga tiket seperti yang dijanjikan manajemen SFC.

"Sudah seharusnya para suporter mendukung finansial tim dengan membeli tiket tanpa potongan, tidak seperti selama ini yang mendapat potongan 50 persen. Selama Sriwijaya FC berdiri maka Singa Mania akan tetap setia mendukung SFC," kata dia.

Berbeda dengan Dedi, Ketua Kelompok Suporter Simanis Qusoy mengatakan, penyatuan kelompok suporter adalah kebutuhan SFC saat ini.

"Kita harus berkaca kepada suporter-suporter klub-klub lain di Indonesia yang bisa menyingkirkan ego dengan bergabung bersama dalam satu tribun, satu yel-yel dan satu warna dalam kostum," ucap dia.

Menurut Qusoy dengan adanya kesamaan itu maka suporter SFC akan terlihat kuat sehingga diperhitungkan oleh tim lawan.

"Simanis dan Sriwijaya Mania Sumsel telah sepakat akan bersatu. Tinggal Singa Mania saja yang belum mau. Kami masih berharap ada solusinya, karena pada musim ini SFC banyak mengarungi kompetisi," ujar dia.

Sementara, Manajer Keuangan PT Sriwijaya Optimis Mandiri Augie Bunyamin menyayangkan keengganan Singa Mania untuk bersatu itu. 

Apalagi, lanjut Augie, sebelumnya Singa Mania sudah menyatakan bersedia untuk satu nama, satu tribun dan satu nyanyian saat bertemu langsung dengan Gubernur Sumsel. 

"Sebelumnya tiga kelompok suporter telah sepakat untuk bersatu dengan satu nama yakni Gangsters atau Gabungan Suporter Sriwijaya. Tapi, belakangan Singa Mania menolak, kami sangat menyayangkan hal itu," kata dia. (ANT-039/K004)
Beladas


Beladas adalah gabungan tiga kelompok suporter yang mendukung Sriwijaya FC: Singa Mania, Simanis dan Sriwijaya Mania Sumsel. Dalam bahasa Palembang, kata "Beladas" sendiri artinya "bersenang-senang", namun juga bisa diartikan sebagai singkatan dari "Bela Armada Sriwijaya".

Kreativitas armada Beladas dalam memberikan dukungan ke klubnya patut diacungi jempol. Yel-yel, atribut, serta gerakan-gerakan yang mereka buat selalu enak untuk disaksikan. Loyalitas mereka ditunjukkan ketika Beladas akhirnya mampu mengiringi tim kesayangan mereka bertandang ke tanah Kalimantan tahun 2012 lalu. Mereka tak segan-segan memberikan dukungan secara total, walaupun suporter yang turut serta saat itu hanya berjumlah lima orang. Bayangkan, lima suporter melawan ribuan suporter, di kandang lawan pula!

Suporter Persisam Samarinda

Pusamania, Persisam Samarinda

Nama : Pusamania
Nama Lengkap : Republic Orange Pusamania
Berdiri : 9 April 1994
Julukan : Pasukan Orange, Republic Orange
Anggota : 15 Ribu 

Tentang Pusamania
Pusamania adalah suporter sepak bola di Kalimantan Timur, Indonesia. Terkenal berkat dukungan fanatiknya untuk Putra Samarinda sejak tahun 1994. Hingga kini dukungan tersebut masih terjaga.
Memiliki warna kebesaran orange,sesuai nama panjang mereka, Republik Orange Pusamania. Pusamania juga dijuluki Republik Orange. Salahsatu suporter tertua di Indonesia ini juga tercatat sebagai anggota resmi Asosiasi Suporter Kalimantan Timur (AS Kaltim).
Memiliki tak kurang dari 15 Ribu anggota resmi (Arsip data hingga tahun 2010) Pusamania tak hanya mendukung perjuangan tim kebanggaan di Theater Of Hell – julukan Stadion Segiri Samarinda. Tour luar kota pun mereka sambangi demi memperlihatkan kecintaan mereka terhadap Pesut Mahakam.
Sejarah Pusamania
Sekilas tentang struktural Pusamania. Pusamania terlahir 9 April 1994. Duduk sebagai ketua Pusamania pertama adalah Adi Karya dan Tommy Ermanto sebagai wakil.
Respon luar biasa ditunjukkan masyarakat Samarinda yang menganggap Pusamania sebagai kebanggaan, selain kecintaan mereka kepada sepakbola kota tepian tentunya. Dukungan perdana Pusamania terjadi saat ratusan Pusamania ngeluruk ke Bontang memberikan dukungan kepada Pusam FC saat berhadapan dengan PKT (Pupuk Kaltim) Bontang di Kodak Galatama 1994/1995.
Untuk melihatkan identitas diri sebagai pendukung setia Pesut Mahakam, Pusamania sepakat untuk mengunakan baju putih polos yang disablon dengan tulisan Pusamania. Ditunjuklah H Iskandar, Koordinator Lapangan untuk tour ke kota Bontang. Mess Pusam di Jl Gatot Subroto Gg 12 pun padat dengan aktifitas persiapan tour perdana Pusamania saat itu.
Kenapa harus warna putih? pasalnya saat itu semua klub mendapat jatah jersey langsung dari sponsor yang bekerja sama dengan PSSI. Dan warnanya setiap tahun selalu berubah-ubah, meski pada awalnya Pusam FC lebih banyak mengunakan warna kuning kombinasi merah sebagai awal mula warna kebesaran. 
Dan kenapa sekarang berubah menjadi orange? Konon, orange menjadi warna kebesaran hingga saat ini dinilai sebagai pemberian tuhan yang maha esa. Saat kostum klub-klub peserta Liga Indonesia masing sering di jatah PSSI, Putra Samarinda masih mengirim warna kostum kuning kombinasi merah sebagai kostum utama. Namun, entah penyebabnya apa. Kostum yang datang ke Samarinda adalah orange. Dan saat kostum orange diperkenalkan, disini awal adidaya Pusam terlihat sebagai klub raja sepak bola Kalimantan. Hingga kini, warna kostum orange masih dipertahankan.
Disisi lain, Pusamania perlahan tahun per tahun semakin membesar. Pusamania pun semakin dominan. Sayang, Liga Kansas ditahun 1996/1997 nama baik Pusamania sempat menjadi sorotan. Penyebabnya adalah kerusuhan yang melibatkan Pusamania dengan aparat keamanan.
Awal mula pecahnya kerusuhan terjadi akibat rasa persaudaraan yang tinggi diantara anggota Pusamania. Pusamania kala itu tak terima dengan sikap aparat yang dinilai berlebihan dengan seorang pendukung Pesut Mahakam. Melihat rekannya menjadi bulan-bulanan aparat, Pusamania secara serentak berontak. Laga pun sempat terhenti, meski akhirnya dilanjutkan hingga peluit tanda berakhirnya laga, walau dengan resiko aksi brutal Pusamania. 
Kesalahpahaman ini tak hanya terjadi di dalam lapangan. Tak puas dengan aksinya di dalam stadion, amarah Pusamania semakin menjadi diluar Stadion Segiri. Bahkan, saat itu keberhasilan Pusam FC meraih kemenangan 4-0 atas tamunya Persegres Gresik, tak menjamin amarah Pusamania mereda. Hampir disemua jalan sekitar Stadion Segiri hancur akibat amukan Pusamania.
Beberapa daerah yang tak luput dari amarah Pusamania diantaranya, Jl Kesuma Bangsa, Jl Pahlawan, Jl Agus Salim dan Jl Bhayangkara. Fasilitas kota yang terdapat didaerah tersebut tak luput dari aksi anarkis. Traffic Light, pot bunga, kaca-kaca perkantoran serta mobil berplat merah pun menjadi sasaran amarah.
Kejadian yang dikenal “Tragedi Segiri” itu jelas membuat jajaran pengurus Pusamania terhenyak. Organisasi suporter ini ternyata telah sedemikian besar. Memiliki kekompakan serta kekuatan yang tak terduga. Disisi lain, ultimatum “Bubarkan Pusamania” dilontarkan Walikota Samarinda saat itu, H Lukman Said.
Pusamania menentang, pasalnya Pusamania dibentuk bukan karena dan oleh pejabat yang ingin sesuatu kepentingan. Maka tidak satu orang pun yang berhak membubarkan Pusamania, siapapun dia dan apapun jabatannya. “Pusamania dibentuk atas kehendak Allah swt,” jawab ribuan Pusamania saat itu. Negosiasi pun dilangsungkan antara jajaran Muspida Samarinda dan Pusamania. Disepakati, bahwa pembubaran Pusamania tidak akan dilakukan. Namun, Pusamania juga harus tetap menjaga agar aksi serupa tak terulang kembali.
Hal inipun menegaskan bahwa eksistensi Pusamania dalam bangkit dari keadaan sulit dan intimidasi dari berbagai pihak tidak mampu merobohkan solidaritas pendukung setia sepak bola Samarinda. Kejadian ini, lantas dijadikan pelajaran Pusamania. Evaluasi besar-besaran dilakukan di intern organisasi dan akhirnya disepakati nama Tommmy Ermanto Pasemah sebagai ketua Pusamania mengantikan Adi Karya.
Pusamania tak hanya jadi suporter biasa di Samarinda. Pusamania generasi sekarang juga harus bangga, bahwa seniornya terdahulu sudah pernah melakukan hal fenomenal saat menjaga keberadaan klub sepak bola Samarinda.
Beberapa aksi dengan mendesak bahkan tekanan kepada Pemkot Samarinda untuk turut mendukung klub bola kota tepian. Dan puncaknya terjadi pada tahun 2003 saat Pusam FC menarik diri dari liga akibat ketidak adilan PSSI saat itu. Pemilik klub, H Harbiansyah Hanafiah, lantas menghibahkan Pusam FC dan lisensinya dimanfaatkan Persisam Putra Samarinda. Pusamania juga menjadi saksi merger Pusam FC dan Persisam Putra.
Terbukti Pusamania berhasil membentengi persepak bolaan Samarinda dari jurang kehancuran sehingga masyarakat Samarinda sampai saat ini masih bisa menyaksikan tim kebanggaan berlaga di Liga Indonesia. “Inilah salah satu karya yang bisa dipersembahkan oleh Pusamania bagi masyarakat Samarinda,” bangga Tommy Ermanto Pasemah, yang sekarang dipercaya menjabat sebagai GM Persisam.


Pusamania yang merupakan pendukung dari Persisam Samarinda menjadi wakil Kalimantan dalam daftar ini. Kelompok suporter ini sudah eksis sejak tahun 90-an, bahkan membuat salah satu mantan pemain nasional top kala itu, Bambang Nurdiansyah, merasa terkejut. Bagaimana tidak, di Samarinda ternyata antusiasme masyarakatnya tidak kalah dari kota-kota besar seperti Bandung, Jakarta, dan Surabaya.

Pusamania selalu setia mengiringi langkah Persisam di Liga Indonesia. Klub suporter yang identik dengan warna oranye ini sempat menjadi salah satu ikon liga, di mana kala itu klub mereka diperkuat oleh trio Kamerun; Roger Milla, Ebwelle Bertin dan Mahouve Marcel. Loyalitas suporter ini ditunjukkan dari kalimat yang sering mereka ucapkan, "Pakai warna oranye saat ini, Sampaii Berakhir !

Suporter Persis Solo

Pasoepati, Persis Solo


Pasoepati Solo boleh disebut sebagai suporter sepakbola paling kreatif dan sportif di wilayah Pulau Jawa. Sistem pengelolaan organisasi suporter ini sendiri juga sangat rapi dan terstruktur. Mereka selalu menyajikan aksi atraktif saat pertandingan yang sangat menghibur, Diambil dari kepanjangan "Pasoekan Soeporter Solo Sedjati", Pasoepati tidak segan meminta maaf secara terbuka apabila mereka melakukan aksi yang dinilai rusuh. Contohnya adalah permintaan maaf yang dilakukan secara terbuka bulan Oktober 2014 lalu setelah aksi melawan Martapura FC yang dianggap anarkis.

Nama Pasoepati sendiri identik dengan Mayor Haristanto, sosok legendaris di dunia suporter sepakbola Indonesia. Sang "Mayor" adalah sosok yang melatarbelakangi berdirinya Pasoepati serta tiga kelompok suporter lainnya The Macz Man (PSM Makassar), Asykar Teking (PSPS Pekanbaru), dan Persmanisti (Persma Manado).

Pasoepati, Suporter Persis Solo


Pasoepati merupakan sebutan bagi suporter sepakbola asal kota Solo, Jawa Tengah. Saat ini Pasoepati menjadi pendukung fanatik klub Persis Solo.
Pasoepati berdiri pada tanggal 9 Februari 2000 silamNama suporter asal kota Bengawan tersebut awalnya merupakan kepanjangan dari Pasukan Soeporter Pelita Sejati. Kepindahan klub Pelita Jaya ke kota Solo yang kemudian berganti nama menjadi Pelita Solo mendapat sambutan yang luar biasa dari publik Solo. Hadirnya klub Pelita Solo benar-benar membangkitkan antusias penggila bola di Solo yang rindu akan hadirnya tim sepakbola level atas Liga Indonesia selepas bubarnya Arseto Solo.
PASOEPATI PERSIS SOLO
Lahirnya Pasoepati tak lepas dari buah pikiran budayawan dan praktisi periklanan asal Solo yang bernamaMayor Haristanto yang kemudian menjadi presiden Pasoepati yang pertama. Pria kelahiran Wonogiri, 15 Mei 1959 yang akrab dipanggil pak Mayor ini memang terkenal memiliki pemikiran dan ide-ide yang brilian. Anak keempat dari pasangan Kapten Kastanto Hendrowiharso dan Sukarni ini berani menuangkan ide-idenya yang di mata orang merupakan hal yang mustahil namun pak Mayor mampu mewujudkannya menjadi sesuatu yang luar biasa. Mayor Haristanto selain sebagai penggagas lahirnya suporter Pasoepati, beliau juga turut andil akan lahirnya beberapa kelompok suporter antara lain: The Macz Man ( pendukung PSM Makassar ), Asykar Teking( pendukung PSPS Pekanbaru ), Persmanisti ( pendukung Persma Manado ), dan Slemania ( pendukung PSS Sleman ). Mayor Haristanto mengukir prestasi yang gemilang dengan meraih empat penghargaan rekor MURI. Penghargaan tersebut berhasil diraih adik kandung dari penulis dan pendiri komunitas Epistohotik Indonesia,Bambang Haryanto setelah beliau menciptakan beberapa rekor. Pak Mayor saat ini menjabat sebagai presidenRepublik Aeng-Aeng yang merupakan sebuah perkumpulan kelompok seniman budaya Solo.